RINGKASAN DAN RELEKSI BUKU : Pedoman Penafsiran Alkitab.

ELISABET D. PALUPI
712015040
Pedoman Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hayes H. John dan Holladay, R. Carl.  2015.
RINGKASAN DAN RELEKSI BUKU :
Pedoman Penafsiran Alkitab.
Suatu penafsiran sebenarnya biasa kita lakukan di setiap kehidupan kita sehari-hari. Karena ketika kita berkomunikasi dengan orang lain secara tidak sadar kita telah melakukan metode penafsiran dengan menafsir ucapan yang dikatakan orang lain kepada kita dan kita sebagai penerima akan menafsirkan ucapan orang tersebut dengan begitu bisa dikatakan kita telah melakukan penafsiran eksegese. Usaha dan sarana yang dibutuhkan untuk eksegesis dan penafsiran teks-teks sangat besar dan bergantung pada sifat teks-teks dan hubungannya dengan komunikasi yang biasa. Namun, tingkat kesulitan yang timbul di dalam penafsiran, adalah karena banyaknya teks dan di dalam komunikasi lisan bergantung pada dua varibel. Pertama, factor yang mencangkup seberapa jauh pihak yang membuka komunikasi dan pihak yang menerima komunikasi ikut ambil bagian dalam bahasa yang pengalaman yang sama. Kedua, factor yang mencangkup seberapa jauh komunikasi dan bentuknya membuat isi dan bentuk-bentuk ekspresi khusus. Dari kedua factor tersebut berlaku di dalam menafsirkan Alkitab. Setelah itu, dalam melintasi abad-abad penafsiran Alkitab, sinagoge dan gereja sibuk untuk melakukan penafsiran Kitab Suci. Sehingga tugas eksegese Alkitab dipahamai sebagai salah satu cara sistematis untuk menafsirkan sebuah teks.
Kritik teks terhadap Alkitab perlu diperhatikan, karena kritikan yang diberikan oleh seorang penafsir harus diperiksa terlebih dahulu. Sebab, dari tanggapan kritis yang disampaikan terdapat pengertian yang memadai suatu permasalahan yang ada dan akan dapat, serta keputusan-keputusan atas varian-varian bisa dibuat. Kemudian, kritik historis tempat di dalam ruang dan waktu memiliki dua pengertian yaitu, sejarah di dalam teks dan sejarah dari teks. Dengan memperharikan keduanya, penafsir dapat mengetauhi maksud yang terkandung dari tks. Karena di dalam setiap teks-teks Perjanjian lama dan Perjanjan Baru ada kesinambungan. Ada beberapa kebudayaan yang tecantum di dalam Perjanjian Baru terkadang sama seperti kebudayaan yang ada di dalam Perjanjian Lama. Mengapa bisa terjadi? Hal tersebut bisa terjadi karena sejak lama teks-teks Perjanjian Baru yang telah ditafsirkan telah disortir dan kemudian dijadikan Perjanjian Baru. Namun, bahasa yang tertulis di dalam teks-teks tersebut dapat dikritik yang kritis dengan memeriksa kritikan-kritikan maka penafsir dapat menentukan garis besar yang dimaksudkan teks. Selanjutnya ada kritik sastra yang mempersoalkan teks, pengarang, konteks sejarah, dan pelbagai aspek bahasa serta isi teks itu sendiri. Selain kritik sastra ada kritik bentuk sebagai analisis jenis yang memusatkan diri pada perikop yang singkat. Selanjutnya ada kritik bentuk yang memfokuskan pada iman setia orang di kehidupan sehari-hari serta pengaruhnya. Kritik tradisi yang mempengarui suatu teks karena di dalam teks terdapat tradisi-tradisi, sehingga di era modern ini tradisi-tradisi yang dibayangkan oleh kritik tradisi yang dapat ditemukan pada tulisan-tulisan saat ini yang menggambarkan cara bagaimana suatu tradisi bisa betumbuh dan berkembang.
Kemudian ada kritik redaksi yang membutuhkan pengertian dari kritik tradisi dan kritik bentuk dan ada kritik struktur yang menekankan dua hal utama sebagai dasar strukturalisme. Pertama kritik strukturalisme yang mengharuskan teks harus dipandang nirsejarah atau tidak terikat oleh waktu. Kedua, suatu pandangan yang berusaha untuk memahami semua bentuk pengalaman dan tingah laku manusia sebagai wujud kongkret struktur keteraturan sebagai hal yang universal. Selanjutnya ada kritik kanonik yang membahas berbagai penjelasan mengenai tahap-tahap penafsiran Alkitab. Setelah semuanya dilakukan, barulah menyatukan semua langkah penafsiran serta memanfaatkan hasil-hasil penafsiran Alkitab.
Eksegese berarti membaca atau menggali suatu teks, sehingga kita mencoba untuk memahami dan menafsirkan suatu teks. Ketika komunikasi lisan berlangsung, kita bisa menduga konteks dan maksud pembicara dan bahkan kita bisa menganalisis kata-kata yang disampaikan. Sehingga, untuk memahami suatu kata dan maksud dari kata-kata yang disampaikan, berarti kita tengah menafsirkan apa yang tengah disampaikannya supaya kita mengerti maksud yang telah disampaikan. Ada beberapa kesulitan untuk melakukan suatu penafsiran karena banyaknya teks dan di dalam komunikasi lisan bergantung pada dua variable yaitu factor pertama, mencangkup seberapa jauh pihak yang membuka komunikasi dan pihak penerima komunikasi mengambil bagian dalam dunia bahasa dan pengalaman yang sama. Jadi maksudnya adalah adanya komunikasi antara yang memberi maupun yang menerima. Factor kedua, mencangkup seberapa jauh komunikasi dan bentuknya membuat isi dan bentuk-bentuk ekspresi khusus. Jadi maksudnya adalah bahwa isi dan ekspresi khusus sangat berpengaruh pada penafsiran yang dilakukan, dan kerumitan ketika melakukan suatu penafsiran dikarenakan beberapa factor. Pertama, sudut pandang ketiga. Pihak ketiga harus berusaha untuk memahami kominukasi dengan cara berperan atau menempatkan diri pada posisi pengirim dan penerima. Kedua, perbedaan bahasa si penafsir dan teks atau dokumen berbeda. Ketiga, kesenjangan budaya yang mempengaruhi penafsir berbeda kebudayaan dengan teks atau dokumen, karena komunikasi dalam suatu kebudayaan sering menggunakan pengertian budaya yang dimiliki bersama. Keempat, kesenjangan sejarah menyebabkan terbitan-terbitan baru dari karya-karya klasik mengenai masa lalu yang dilengkapi dengan catatan-catatan untuk menjelaskan fakta-fakta dan sejarah penting yang terjadi pada masa lalu yang bukan menjadi bagian dari kehidupan masa kini. Kelima, kenyataan dokumen-dokumen terkadang adalah hasil dari perkembangan historis dan kolektif. Keenam, banyak teks yang berlain-lainan dari dokumen-dokumen yang sama. Ketujuh, pandangan bahwa teks tersebut adalah suci dan dengan demikian sedikit banyak berbeda dari karya tulis lainnya. Sehingga, ketika seorang penafsir akan menafsirkan teks-teks Alkitab maka akan masuk dalam kategori penafsiran khusus. Ada beberapa factor kesulitan ketika menafsirkan teks-teks Alkitab, yaitu: pertama, tidak ada bagian dari teks-teks di Alkitab yang diperuntukkan pembaca atau penafsir masa kini. Kedua, tidak ada bagian Alkitab asli yang disusun dalam bahasa modern. Ketiga, pembaca masa kini dan mula-mula dari zaman Alkitab dipinsahkan oleh kesenjangan budaya. Keempat, kesenjangan sejarah yang memisahkan dari zaman Alkitab. Kelima, di dalam Perjanjian Lama terdapat perkembangan tradisi secara bertahap dan ikut sertanya paguyupan dalam memberikan sumbangan-sumbangan kolektif mereka. Keenam, naskah-naskah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah salinan yang dibuat jauh setelah dokumen-dokumen asli ditulis. Ketujuh, Alkitab termasuk Kitab Suci jadi tidak perlu diberi komentar khusus. Teks-teks Alkitab tentu telah melintasi abad-abad penafsiran dan melewati beberapa fase, yaitu: pertama, fase awal penafsiran Alkitab yang dicirikan oleh anggapan bahwa iman dan praktek di kehidupan persekutuan tanpa sadar secara langsung mendapatkan kewibawaan dari ajaran-ajaran Alkitab. Kedua, adanya pergeseraan antara perspetif penafsiran dan eksegese di abad 15 dan abad 16. Ketiga, kitab-kitab di dalam Alkitab yang telah dipelajadi dan dipahami dengan pendekatan pelbagai metodologis. Dengan begitu, tugas eksegese yaitu menafsirkan teks-teks Alkitab dengan peralatan, metode-metode, dan penemuan-penemuan dari disiplin ilmu yang telah berkembang. Sehingga ketika melakukan penafsiran diperlukan imajinasi dan kreativitas.
Seorang penafsir perlu untuk memperhatikan kritikan terhadap teks-teks Alkitab. Maka dari itu, kemampuan dan pengetahuan seorang penafsir harus bisa memahami dan mengerti bahasa asli teks-teks Alkitab. Setelah itu bukti dari teks-teks yang dikumpulkan menjadi tolak ukur eksternal dan semua yang harus diperhatikan adalah ketika seseorang merinci atau meneliti kesaksian-kesaksian dari naskah-naskah salinan yang mendukung masing-masing varian. Dari kritik historis ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu, sejarah di dalam teks dan sejarah dari teks. Sejarah di dalam teks maksudnya adalah adanya beberapa hal yang berkaitan dengan sejarah teks itu sendiri, dengan begitu teks sangat berfungsi sebagai jalan agar seorang penafsir bisa melihat periode sejarah, sedangkan sejarah dari teks yaitu tidak adanya hubungan sejarah dari teks itu sendiri. Seorang penafsir harus memperhatikan kebudayaan dan sejarah yang melahirkan teks-teks Alkitab karena hal tersebut dapat membantu penafsir untuk mengkritik suatu teks Alkitab. Selain itu penafsir harus mempertimbangkan pengarang teks tersebut karena banyaknya pengarang teks dan banyaknya pengarang teks yang tidak menggunakan namanya sendiri. Teks Perjanjian Lama sebenarnya sudah lama ditafsirkan hingga dimasukkannya bagian tertentu ke dalam Perjanjian Baru. Hal tersbut terjadi karena ada beberapa pengarang yang mengambil alih tradisi-tradisi yang lebih tua dengan menafsirkan kembali tradisi-tradisi tersebut dengan catatang memperhitungkan situasi mereka. Dengan memperhatikan kritik tata bahasa teks, ada beberapa hal yang perlu dilakukan seperti, memeriksa komentar-komentar kritis dengan begitu penafsir bisa memnentukan garis besar yang dimaksudkan oleh teks dan yang harus ditekankan adalah bahasa teks yang berisi kerangka struktur pemikiran pengarang dan kritik tata bahasa sangat menolong penafsir untuk memahami pemikiran pengarang dan untuk menghubungkan aspek-aspek lain dari pemikiran pengarang yang sama dengan seluruh Alkitab. Kemudian ada kritik sastra yang memusatkan pada teks, termasuk susunan, struktur, gaya dan nadanya. Namun, yang harus diperhatikan ulang adalah kemampuan seorang penafsir untuk membaca teks secara menyeluruh, simpatetis dengan indra pendengar dan penglihatan kita yang berfokus pada dimensi internal teks untuk memahami suatu teks. Setelak kritik sastra ada kritik bentuk, yang membuat penafsir melakukan beberapa langkah untuk memahami isi teks. Pertama, menaruh perhatian khusus pada struktur sastra. Kedua, berusaha untuk menentukan kedudukan dalam kehidupan dari teks atau situasi ketika teks tersebut sebelumnya pernah muncul dan berkembang. Ketiga, berusaha untuk mengetahui fungsi teks dalam situasi kehidupannya. Ketiganya akan membantu penafsir untuk membaca dan memahami isi teks. Setelah beberapa langkah tersebut dilakukan maka, kritik bentuk menganalisa cerita mukjizat, kemudian memperhatikan untuk struktur sastra cerita mengenai orang yang kerasukan setan, dan yang terakhir adalah timbul gambaran mengenai orang yang sudah disembuhkan. Jadi, intinya adalah krtitik bentuk membuat penafsir dapat memahami dan menghargai peran serta pentingnya iman di praktek kehidupan orang percaya dalam pembentukan tradisi-tradisi yang dipandang sebagai tradisi yang suci dan berwibawa. Selanjutnya ada satu hal lagi mengenai kritik yatu kritik tradisi yang menggambarkan cara bagaimana suatu tradisi bisa betumbuh dan berkembang seperti, adanya versi lagu yang terdiri dari beberapa bait dan adanya perbedaan antara bait yang satu dengan yang lain yang terdapat di kidung yang berbeda, namun judul dan intinya sama. Selanjutnya ada kritik redaksi yang memerlukan pengertian dari kritik tradisi dan bentuk, salah satu anggapan dasar untuk menerapkan kritik redaksi ini adalah adanya banyak teks pra-sejarah yang bisa ditelusuri dan direkonstruksi dengan kepastian dan kritik redaksi ini banyak masukan dari cabang-cabang ilmu tafsir lainnya yang menemukan dan memperliatkan pelbagai cara sebuah tradisi dan cerita tertentu yang mengalami perubahan waktu dari setiap generasi ke generasi.
Berikutnya ada kritik structural yang memiliki dua hal yang ditekankan dalam struktur ini yaitu: pertama, teks tidak terikat oleh waktu jadi ada asumsi yang mendasar serta menimbulkan bebagai upaya untuk membedakan antara maksud dari teks dulu dan saat ini, yang benar-benar membuka pehatian kritikus structural. Kedua, kritik structural yang berupaya untuk memahami pengalaman dan tingkah laku manusia sebagai wujud kongkret dari keteraturan yang dilihat secara universal dan memunculkan beberapa hal seperti, bahasa yang dipahami secara luas dan yang mempengaruhi tingkah laku sosial, bahasa teks yang memiliki makna yang beragam, dan prinsip pasangan pertentangan. Lanjut ke kritik kanonik yang memperhatikan beberapa hal seperti pendekatan kanonik yang bersifat sinkronis jadi mengarah pada perhatiannya pad ahubungan teks dengan pembacanya, pembacaan kanonik akan berbeda karena tergantung dari setiap iman orang yang membacakannya, kanonisasi membuat arti nas tidak bergantung pada pemakaian kata sebelumnya atau pemakaiannya seperti di dalam sejarah, dan pendekatan kanonik menolak untuk menafsirkan teks secara sendiri-sendiri. Setelah semua kritik-kritik dilakukan barulah penafsir menyatukan semua langkah penafsiran, dengan beberapa pokok untuk melakukan suatu penafsiran tersebut seperti membiarkan teks menentukan sendiri hal-hal yang perlu dibahas. Kemudian, Membiarkan pertanyaan-pertanyaan muncul dari diri penafsir hal tersebut menunjukan metodologi, teknik-teknik dan pendakan kritis yang sesuai, dan memakai sarana yang sesuai dengan teknik penafsiran yang ada. Setalah itu, secara timbal-balik hubungan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang diajukan, dan yang teralhir adalah menyimpulkan analisis yang sudah dilakukan dan memadukan penemuan-penemuan yang bisa menjadi suatu tafsiran terpadu atas teks. Setelah melakukan beberapa pokok tafsiran tersebut, penafsir bisa memanfaatkan hasil-hasil penafsiran Alkitab dengan mendalami proses penafsiran itu berhubung segi-segi penggunaan Alkitab dalam kehidupan bergereja dan sinagoge. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah merekonstruksi suatu peristiwa yang ada di dalam sejarah alkitabiah harus dilakukan dengan cara mengkaitkan satu sama lain bukti-bukti sastra alkitabiah dan non alkitabiah serta bukti purbakali yang tidak tertuliskan. Secara sadar, seorang penafsir juga berperan sebagai pemberita firman, namun hasil tafsiran yang telah dilakukannya tidak boleh dimasukkan ke dalam bahan kothbah. Di sisi lain, seorang penafsir harus bisa menghadapi pelbagai cara penggunaan teks alkitabiah dalam kebudayaan harus menyadari penafsiran dilaksanakan dengan semua cara itu.
Penafsiran yang dilakukan pada teks-teks Alkitab memang tidak mudah dilakukan, karena ada beberapa hal atau syarat-syarat yang harus dilakukan sebelum melakukannya, seperti membaca teks kemudian bagaimana kita dapat memahaminya dan setelah itu muncul berbagai pertanyaan-pertanyaan, dan dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul disitulah kita dapat melakuan penfsran dengan menemukan jawaban-jawaban. Tetapi banyak hal yang harus dilakukan seorang penafsir ketika akan melakukan penafsiran seperti sarana yang akan digunakan, dan seorang penafsir harus memiliki pengetahuan yang luas. Bahkan, bahasa dan tata bahasa jga harus dikuasai oleh penafsir. Dengan bekal-bekal tersebut seorang penafsir bisa melakukan penafsiran.









Komentar

Postingan populer dari blog ini

RINGKASAN DAN RELEKSI BUKU : Paulus: Hidup, karya dan Teologinya.